AHOK, JOKOWI, DAN LOGIKA MI INSTAN
By Edward Marthens
Anda (pasti) pernah memasak mi instan, kan? Baik, saya ingatkan kembali tahapannya. Nyalakan kompor, ambil panci kecil lalu isi air secukupnya. Letakkan panci di atas kompor yang menyala. Tunggu sebentar. Setelah mendidih, pecahkan telur dan masukkan ke dalamnya. Tunggu sebentar lagi. Setelah itu, masukkan mi instan yang telah disiapkan. Sambil menunggu matang, segera siapkan bumbu-bumbu yang biasanya sudah disediakan dalam kemasan mi instan tersebut ke piring. Kalau anda suka, masukkan juga sayuran ke dalam panci. Tunggu barang 1-2 menit lagi. Setelah itu, pindahkan mi instan dan telur yang sudah matang itu ke piring. Tambahkan saus, sambal dan lainnya sesuai selera. Selamat menikmati...
Oya, sekadar mengingatkan saja. Seluruh proses sejak memasak air hingga menuangkan mi instan dan telur ke piring hanya memerlukan waktu 3-5 menit. Jangan sampai lebih. Sebab, panci akan luber oleh air campur mi instan dan telur. Jangankan sampai lewat 5 menit, saat menyajikan bumbu-bumbu ke atas piring pun, kadang-kadang kita harus mengecilkan api kompor. Tujuannya, ya itu tadi, agar tidak meluber.
Buat anda yang pemula, ini tips dari saya kalau sampai kejadian juga luber. Pertama, langsung matikan kompor. Setelah itu, tunggu air di panci turun permukaannya. Barulah pindahkan mi dan teman-temannya tadi ke piring. Tambahkan bumbu-bumbu sesuai selera, aduk, dan nikmati.
Mematikan kompor tepat waktu ini amat penting. Bukan cuma untuk mengatasi kalau panci luber, tapi yang lebih utama; untuk mencegah agar panci tidak luber.
Jangan coba-coba sibuk membersihkan panci yang kotor saat isinya luber. Anda juga tidak perlu repot-repot membersihkan kompor yang kena luberan itu. Tidak usah juga ribet membersihkan meja kompor dan lantai yang kotor karena luberannya tidak terkendali. Semua itu bisa dicegah sejak awal, kalau Anda tidak terlambat mematikan kompor. *Ctek! Sesederhana itu! *
Sayangnya, logika dan tahapan sederhana itu tidak dilakukan Joko Widodo. Presiden Republik Indonesia ini justru sibuk pontang-panting menemui Prabowo di kediaman. Dia juga bertandang ke Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dia mengundang sejumlah ulama dari berbagai pimpinan Ormas Islam. Pada hari berikutnya, rombongan ulama Banten juga dihadirkan ke Istana.
Seperti tidak cukup, dia melakukan serangkaian roadshow. Datang ke markas pasukan Kopasus, Brimob, Marinir, dan Paskhas. Bahkan di markas pasukan elit Angkatan Darat Kopasus, Presiden bertubuh kerempeng itu dengan gagah mengatakan, bisa menggerakkan kekuatan (Kopasus) jika diperlukan. Bukan main!
Entah berapa anggaran yang dihabiskan untuk acara wira-wiri ini. Pastinya, negara harus mengongkosi biaya transportasi Presiden dengan rombongannya, membeli bahan bakar iring-iringan mobil yang ada, menyiapkan penyambutan di tempat-tempat yang dikunjungi. Entah, berapa miliar rupiah semuanya. Silakan tanya kepada Pratikno yang Mensesneg atau Pramono Anung, Mensekab. Mungkin mereka tahu.
Lucunya, Presiden sibuk pontang-panting ke sana kemari. Padahal, waktu sekitar 2,3 juta ummat Islam mendatangi Istana, dia justru ngacir. Katanya meninjau proyek rel kereta di Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Memangnya proyek itu puentiiiing buangetttt ya, sampai-sampai jutaan rakyat yang ingin bertemu pun ditinggalkan?
Jokowi ternyata tidak kunjung balik ke Istana. Padahal, massa aksi menuggu sampai lewat maghrib. Lucunya lagi, dia beralasan tidak bisa sampai Istana karena akses jalan terhambat massa aksi. Numpang tanya, Presiden lagi bicara sama anak peserta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), ya? Kalau mau bohong, ya mbok kira-kira yang rada cerdas dikit, dong, pak Presiden...
Tapi, puncak lucunya adalah, Jokowi justru tidak mengagendakan bertemu dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Padahal, sejak awal diketahui GNPF inilah yang menjadi ‘penyelenggara’ aksi yang dikenal dengan sebutan 411 tersebut. Dia sibuk bermanuver ke sana-sini. Dan ironisnya, segala polah itu bisa disebut nyaris sia-sia belaka!
Ketika publik mempertanyakan akrobatnya yang menghebohkan itu, Jokowi menjawab, untuk memastikan semua kekuatan TNI dan polisi tersebut tetap loyal. Pertanyaan berikutnya, loyal kepada siapa? Kepada negara, yes! Harus! Tapi, itu tidak serta-merta berarti harus loyal kepada pemerintah. Beda, lho, antara negara dan pemerintah! Mosok soal seperti ini saja harus dijelaskan, sih?
Di tengah kesibukan mondar-mandir itu, jagad dunia maya dijejali meme yang antara lain berbunyi; yang menista al Quran adalah Ahok, yang menghina ulama adalah Ahok, yang dilaporkan ke polisi adalah Ahok, tapi yang sibuk mondar-mandir kesana kemari kok Presiden? Pak Jokowi Sehat? dengan gambar dokter dan Jokowi yang memegang dahi...
Kembali soal memasak mi instan di awal tulisan ini. Kalau saja Jokowi mau menggunakan logika mi instan tadi, maka dia tidak perlu repot-repot luar biasa seperti itu. Pokok persoalan adalah Basuki Tjahaja Purnama yang menista al Quran. Jokowi tinggal memerintahkan aparat hukum untuk menangkap Ahok dan memroses dengan cepat dan transparan. Ibarat mematikan kompor, ctek! Selesai!
Seharusnya Jokowi tidak berlama-lama mendiamkan masalah ini. Seharusnya, Jokowi tidak bersikukuh membela dan melindungi gubernur bermulut isi toilet itu. Seharusnya Jokowi menegur Polisi yang bertele-tele menyelesaikannya. Seharusnya, Presiden menindak Kapolri Tito yang tiba-tiba sibuk berperan sebagai pengacara gubernur yang hobi menggusur rakyatnya dengan brutal. Seharusnya... seharusnya... seharusnya...
Ah, seharusnya Jokowi bisa dengan mudah mengatasi masalah ini. Seharusnya, Jokowi langsung mematikan kompor. Seharusnya dia tidak menunda-nunda bahkan sibuk membersihkan panci, mengelap kompor, membersihkan meja kompor, dan mengepel lantai yang kotor karena luberan isi panci.
Pak Presiden, jika Anda tidak kunjung mematikan kompor; maka bukan cuma panci, kompor, meja kompor, dan lantai yang akan kotor, lho. Tapi, bisa juga terjadi kebakaran. Waspadalah, waspadalah, waspadalah...! (*)
Jakarta 15 November 2016
Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar